Bukan Karya Terakhirku
Oleh: Muhammad Adib*)
Sejak dulu, aku senang mengguratkan apapun yang aku
lihat, rasa, ataupun dengar, dalam lembaran-lembaran kertas, menjadi
rangkaian-rangkaian kalimat yang seringkali aku nikmati sendiri.
Guratan-guratanku itu hanya sebagai penanda dan prasati bahwa diriku pernah
mengalami episode-episode kehidupan yang seperti ini dan seperti itu.
Bahkan dahulu, ketika aku masih duduk di bangku Madrasah Aliyah,
seringkali teman-temanku meminta tolong kepadaku untuk menuliskan surat kepada
seseorang yang ditaksirnya atau menuliskan surat balasan kepada mereka. Dan
rata-rata orang yang kutuliskan itu, katanya sih akhirnya jadian.
Padahal aku tidak pernah merasa merayu ataupun menuliskan tulisan yang tidak-tidak
pada surat-surat yang kutulis itu.
Aku hanya mendengarkan curahan hati temanku, lalu kutulis. Aku
hanya membaca surat yang mereka dapat, lalu kubuatkan jawaban. Itu saja. Wah...
kalau saja karena tulisan-tulisanku tadi, mereka berpacaran dan itu dosa, aku jadi
sangat menyesal, berarti dosa-dosaku sudah tak terhitung. Astaghfirullahal’adzim.
Untuk itu para pembaca yang budiman, tolong doakan saya juga ketika berdoa
untuk diampuni dosa-dosa saya juga ya?
Dimuat Koran
Hingga saat ini, saya sudah beristri dan punya satu anak yang
berumur 2 tahun 3 bulan. Kebiasaan menulis itu terus saya lakukan. Bahkan
beberapa tulisan saya juga pernah dimuat di koran. Ya, sekali lagi, hanya pernah,
tidak lebih dari delapan kali hingga saat ini.
Itu karena iseng-iseng saja mengirimkan artikel dan kebetulan
dimuat. Tetapi anehnya, saya tidak pernah punya keinginan untuk menjadi
penulis, padahal saya senang menulis. Hal tersebut ternyata berbanding lurus
dengan kesenangan membaca koran. Kalau dulu di pesantren ya saya baca koran
yang ditempel pada papan pengumuman, kalau sekarang, ya... yang ada di tempat
pekerjaan. Sambil sesekali membeli koran atau majalah di pinggir jalan.
Menulis, bagi saya, ibarat orang yang buang hajat. Artinya, orang
makan terus, tetapi tidak pernah buang hajat, pasti perutnya juga akan sakit.
Sering membaca tetapi tidak dituangkan menjadi tulisan, juga akan menjadi tidak
nyaman di pikiran.
Saya juga pernah membaca satu artikel di koran yang judulnya saya
lupa, penulisnya juga saya lupa. Tapi alhamdulillah, isinya saya sama
sekali tidak lupa. Katanya, ketika mantan Presiden Indonesia yang terkenal
jenius dan bisa bikin kapal terbang itu, B.J Habibie, ditinggal wafat oleh
istri beliau Ainun Habibie, beliau mengalami depresi yang sangat hebat. Seringkali
berlari kesana kemari sambil memanggil-manggil istrinya ―Ainun, Ainun,
Ainun.....
Bahkan, kadangkala menangis dan berbicara sendiri. Akhirnya, para
dokter yang menangani beliau memutuskan untuk mengambil beberapa pilihan
tindakan, yaitu yang pertama Bapak Habibie ditempatkan pada rumah sakit jiwa
VIP, kedua tetap dirumah tetapi harus didampingi para psikolog yang andal, dan
yang ketiga Bapak Habibie menuliskan setiap apapun yang beliau rasakan pada
buku harian beliau.
Dan setelah diberi tiga pilihan terapi itu, Bapak Habibie memilih yang
ketiga dan ternyata hasilnya menggembirakan. Beliau berangsur-angsur membaik,
bahkan dalam waktu yang relatif cepat.
Bukan Karya Terakhir
Sampai suatu saat saya bertemu dengan Pak Badiatul Muchlisin Asti, seorang penulis senior asal Grobogan. Hal tersebut berawal dari artikel yang pernah saya kirimkan di sebuah koran bahwa perpustakaan mushala di kampung kami membutuhkan buku-buku bacaan. Lalu beliau kemudian menjadi salah satu donatur buku yang datang menemui saya dengan keperluan menyumbangkan buku kepada perpustakaan mushala di kampung saya tersebut.
Dari membaca artikel tersebut, kemudian pertemuan saya dengan Pak
Badiatul Muchlisin Asti ternyata memberikan satu asa kepada saya. Karena dari
pertemuan itu juga saya (yang karena support beliau), melahirkan satu
buku yang berjudul “Di Sebuah Nisan Tua, Percik-percik Hikmah Kehidupan”
yang berisikan guratan-guratan perenunganku sehari-hari. Dan asa yang lain
muncul lagi, yaitu saya tidak ingin buku yang pertama tersebut akan menjadi
buku yang terakhir juga.*
Muhammad Adib |
0 Response to "Bukan Karya Terakhirku "
Posting Komentar