Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran dan Majalah


Oleh: Badiatul Muchlisin Asti *)

Profil Badiatul Muchlisin Asti dimuat di Jawa Pos Radar Kudus, edisi Senin, 28 Januari 2008
Saya lahir di Dusun Berukudon (sekarang dipecah menjadi dua dusun, yakni Beru dan Kudon), Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan. Desa Kalirejo bagi saya adalah desa kecil yang permai. Tempat saya menghabiskan masa kecil yang penuh kenangan di penghujung tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an.

Desa yang di tahun-tahun  itu sangat tenang dan damai selayaknya desa-desa yang lainnya. Masa kecil saya, saya habiskan dengan belajar, mengaji, sekolah (pagi dan sore), dan bermain dengan teman-teman. Menonton televisi sangat jarang, karena ketika itu baru sedikit yang punya televisi. Juga stasiun televisi ketika itu baru ada TVRI satu-satunya.

Sewaktu saya SD, bahkan bila ingin menonton televisi harus jalan kaki menuju ke kantor kecamatan, yang lumayan jauh. Baru setelah pertengahan tahun 1980-an, warga kampung mulai ada yang memiliki televisi. Masih televisi hitam putih tentunya, dengan tenaga aki yang bila mau habis, gambar di layar menjadi mengkeret atau mengecil.

Satu-satunya hiburan di rumah adalah radio dan tape. Ayah saya ketika itu setiap hari menyetel lagu-lagu kasidah dari group Nasyida Ria Semarang. Sehingga saya banyak hafal lirik lagu-lagu kasidah, seperti Tahun 2000, Perdamaian, Jilbab Putih, Kota Santri, dan sebagainya. 

Belum banyaknya stasiun televisi ketika itu menjadikan kami punya banyak waktu untuk bermain. Selain main bola, kasti, bedil-bedilan, betengan, gobag sodor, jithungan, dan lompat tali, serta permainan tradisonal seru lainnya, kami juga menghabiskan waktu main layangan, berenang di sungai—meski sungai sedang meluap dan arusnya sedang deras, bekejaran di dalam airnya yang jernih, dan kalau pas musim jangkrik, kami berburu jangkrik di tegalan, kadang kami melakukannya malam hari.

Itu nostalgia yang sangat indah dan penuh memorabilia masa kecil saya yang mungkin tidak pernah akan terulang. 

Saya masih ingat, awal tahun 1990-an, orangtua saya termasuk yang sudah memiliki televisi. Salah satu acara kegemaran kami, yang selalu kami tunggu-tunggu, adalah ketoprak sayembara. Bila jadwal ketoprak sayembara tiba, rumah saya selalu penuh tetangga dan handai tolan yang menonton.

Selain itu, sandiwara radio adalah hiburan edukatif yang paling berkesan bagi saya. Rata-rata temanya tentang sejarah tanah Jawa dan tatar Sunda yang dibalut dengan cerita fiksi pendekar sakti. Sandiwara radio favorit saya ketika itu adalah Saur Sepuh dengan tokoh utamanya Brama Kumbara, Sang Raja Madangkara.

Kegemaran saya terhadap sandiwara radio itu mungkin sudah level dewa, karena mungkin tidak ada alternatif hiburan lainnya. Hampir setiap hari saya selalu menantikan sandiwara itu, hingga saya hafal jadwal tayangnya sekaligus hafal jadwal siaran ulangnya. Bila batu baterai radio hampir habis, suara radio menjadi lirih, sehingga saya musti mendekatkan telinga ke radio agar tetap bisa menyimak ceritanya.

Ketika sandiwara radio Saur Sepuh difilmkan, saya nekad untuk menontonnya dengan jalan kaki melewati sungai menuju gedung bioskop yang berada di kota kecamatan.  Meski banyak sandiwara-sandiwara radio lainnya seperti Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, dan Pangeran Jaya Kusuma, namun favorit saya tetap Saur Sepuh.

Itulah sekelumit cerita masa kecil saya yang menurut saya sangat indah dan penuh nostalgia. Dan di luar semua itu, saya memiliki kebiasaan yang sepertinya jarang (untuk tidak mengatakan tidak) dimiliki oleh teman-teman saya ketika itu, yaitu kebiasaan membaca.

Ibu, Sosok di Balik Kebiasaan Membaca Saya   

Anugerah terindah saya dikarunia seorang ibu yang membiasakan saya membaca sejak saya masih kecil. Ibu saya seorang PNS. Guru agama Islam sebuah sekolah dasar negeri. Ibu saya biasa membawakan buku-buku bacaan dari perpustakaan sekolahnya untuk saya. Buku-buku bacaan yang selalu membuat saya bergairah untuk membacanya sampai tandas.

Buku-buku bacaan itu berupa buku-buku cerita anak, yang berisi cerita-cerita menarik tentang kisah anak-anak yang berani dan memiliki perangai yang baik, kebanyakan terbitan PT Balai Pustaka. Saya sudah tidak begitu ingat secara persis cerita-cerita di buku-buku yang saya baca di masa kecil itu. Tapi umumnya bercerita tentang kisah sekelompok anak yang pemberani, yang kemudian berhasil mengungkap sebuah kejahatan, menggulung kawanan perampok, dan atau berhasil membantu menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakatnya. Ceritanya semisal cerita dalam film 5 Elang, film anak-anak yang dirilis pada 25 Agustus 2011 dan disutradarai oleh Rudi Soedjarwo.

Begitu saya tandas membaca buku-buku itu, ibu saya pun membawa buku-buku itu untuk dikembalikan ke perpustakaan sekolahnya, lalu membawakan saya buku-buku yang lainnya lagi. Begitu itu seterusnya. Kebiasaan membaca itu betul-betul merasuk di hati dan jiwa saya. Membuat saya benar-benar ‘keranjingan’ membaca. Buku, dan bacaan lainnya seperti majalah, begitu saya minati dengan minat yang meluap-luap.

Sayalah yang paling sering ‘mengobrak-abrik’ sebuah lemari kecil yang ada di pojok salah satu kelas di madrasah diniyyah awaliyah Tarbiyatul Athfal, tempat saya sekolah sore atau sekolah Arab (begitu kami biasa menyebutnya), yang di dalamnya memang berisi koleksi buku-buku cerita dan sains untuk anak-anak.

Rasanya hampir semua buku di lemari kecil itu telah saya lahap, tapi tetap saya pilih-pilih karena jumlah koleksinya setahu saya memang tak pernah bertambah, hingga saya lulus sekolah madrasah itu.

Ohya, ketika itu, ibu saya yang seorang pegawai negeri berlangganan majalah Krida, sebuah  majalah bulanan yang diterbitkan oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Provinsi Jawa Tengah. Isi majalah bulanan ini bermacam-macam. Ada aneka artikel yang dianggap cocok untuk para anggota Korpri. Mulai dari yang serius dan untuk kepentingan pegawai negeri, sampai artikel yang bersifat umum. Ada juga cerita pendek (cerpen), puisi, teka-teki silang (TTS), cerita anak, konsultasi kesehatan, konsultasi psikologi, dan masih banyak lagi.

Setiap bulan, majalah yang sekarang sudah mendiang alias sudah tidak terbit lagi itu, ikut mewarnai masa kanak-kanak saya, bahkan selalu saya tunggu. Tidak hanya cerita anak (cernak) yang saya baca, tapi juga puisi, bahkan artikel-artikelnya saya lahap habis.

Saya pun Bermimpi Menulis Artikel di Koran

Gairah membaca buku dan juga majalah itu, secara alamiah dan instingtif, diam-diam membuat saya bermimpi suatu hari kelak saya akan menulis artikel dan artikel itu dimuat di majalah atau koran. Saya bermimpi, suatu hari nanti, nama dan foto saya akan terpajang bersama dengan artikel saya itu. Sungguh sebuah mimpi anak ndeso yang tumbuh secara alami karena kebiasaan membaca yang ditanamkan oleh sang ibu.

Saya membayangkan betapa kerennya ya bila artikel saya dimuat di koran atau majalah, dan ada nama dan foto saya tertera di situ. Demikian kuatnya mimpi itu, hingga menembus bawah sadar saya untuk kelak harus saya perjuangkan dan realisasikan.

Selain Krida, ketika itu ibu saya juga berlangganan majalah Panjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Majalah itu juga selalu saya tunggu-tunggu, tak terkecuali majalah Jaya Baya (juga majalah berbahasa Jawa) yang menjadi langganan almarhum kakak sepupu saya, yang tinggal persis depan rumah saya. 

Salah satu rubrik yang selalu saya baca dan tunggu-tunggu, terutama setelah saya tumbuh remaja, adalah rubrik Roman Secuil yang ada di majalah Jaya Baya. Roman Secuil adalah rubrik di majalah Jaya Baya yang berisi cerpen-cerpen remaja yang biasanya bertemakan roman percintaan. Menjadi unik dan menggelitik karena ditulis dengan bahasa Jawa, sehingga lebih membumi dan klik untuk saya yang memang anak ndeso. 

Kebiasaan membaca majalah berbahasa Jawa itulah yang kelak mengantarkan saya pernah sekali menulis cerpen roman percintaan remaja berbahasa Jawa, lalu saya kirim ke majalah Jaya Baya, dan dimuat. Cerpen berjudul “Episode Cinta” itu dimuat di rubrik Roman Secuil. Sungguh sebuah pengalaman yang amat menakjubkan dan tak terlupakan sepanjang sejarah saya menapaki blantika dunia kepenulisan.

Tanpa terasa, tradisi membaca itu terus merasuk ke dalam kehidupan saya. Tahun 1993, saat saya untuk pertama kalinya menginjak pesantren dan jauh dari orangtua, alhamdulillah, sesuatu yang saya beli pertama kali adalah sebuah buku tebal berjudul Ihya’ Ulumuddin. Sebuah buku masterpiece (karya legendaris) Imam Al-Ghazali. Itulah awal saya kemudian menjadi kutu buku, eh bukan, lebih tepatnya predator buku.

Saya betul-betul ‘gila’ membaca. Sejak saat itu, hampir (untuk tidak mengatakan selalu) setiap bulan, saya berusaha menyisihkan uang saku untuk membeli buku dan koran. Koran yang saya beli secara rutin ketika itu adalah koran Suara Merdeka edisi Minggu. Ya hanya edisi Minggu, karena di situ ada rubrik remaja, sastra dan budaya, dan rubrik-rubrik menarik lainnya, yang saya bisa mencoba mengisinya.

Saat banyak teman-teman santri saya di pesantren yang menjadi “ahli hisap” (istilah populer untuk menyebut santri yang gemar merokok), alhamdulillah saya dijauhkan oleh Allah dari kegemaran itu. Bukulah yang lebih memikat saya.

Saat teman-teman santri saya satu kamar keluar untuk shoping atau sekedar jalan-jalan santai (JJS) ke Matahari (nama pusat perbelanjaan) saat pesantren libur, saya lebih memilih tenggelam dalam kesunyian membaca buku di kamar pondok.

Tradisi itulah yang kemudian secara alamiah dan instingtif menuntun saya untuk menulis. Tidak ada yang ngompori, apalagi menuntun saya. Semuanya berjalan alamiah. Lalu saya pun berpikir, kinilah saatnya saya memperjuangkan mimpi saya untuk menulis artikel dan mengirimkannya ke koran atau majalah. Saya ingin mewujudkan mimpi itu. Nama dan foto saya musti mejeng di koran atau majalah bersamaan dengan dimuatnya artikel saya tersebut. Amboi, indahnya. Pasti keren ya!

Tulisan Pertama dan Dimuat

Tulisan pertama dimuat di majalah Rindang edisi Juni 1994.
Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah. Dia memudahkan saya meniti asa untuk menjadi seorang penulis. Ceritanya, tahun 1994, ketika itu saya masih SMA. Seusai mengikuti seminar remaja di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, saya mendapatkan ide menulis.  

Saya tulis ide itu, lalu saya guratkan dalam sebuah artikel. Jangan pernah berpikir saya menulisnya dengan komputer atau laptop ya. Dan lalu mengirim artikelnya ke redaksi melalui e-mail. Belum ada itu semua. Saya menulis artikel itu  dengan tulisan tangan di atas kertas folio atau HVS. Bayangkanlah!

Setelah tulisan terkonsep rapi (meski dengan bentuk tulisan saya yang acakadut kayak tulisan dokter hehe), saya ketik dengan mesin ketik hasil pinjaman. Asal tahu, itu juga untuk pertama kalinya saya memegang mesin ketik. Hampir seharian saya mengetik artikel yang panjangnya hanya 3 lembar HVS itu. Itu pun hasil ketikannya tidak rapi. Tapi, tak apalah. Maklum masih pemula, lebih tepatnya pendatang baru di dunia pengetikan hehe....

Begitulah, bisa dibayangkan beratnya saya di awal-awal merintis karier sebagai seorang penulis di era teknologi yang belum maju pesat seperti sekarang. Sebuah artikel saja harus melalui proses yang cukup melelahkan. Awalnya artikel saya tulis tangan di selembar kertas. Kemudian baru saya ketik dengan mesin ketik manual. Setelah selesai, barulah artikel dikirim via pos.

Tunggu punya tunggu, masya Allah, artikel saya itu ternyata dimuat. Di majalah Rindang, sebuah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Jawa Tengah. Sekarang majalah Rindang sudah tidak terbit. Saya masih ingat artikel saya dimuat pada majalah Rindang edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis Pergaulan Remaja Modern”. Ada ilustrasi kartunnya dari redakasi dan nama saya terpampang jelas sebagai penulisnya.

Bangga, senang, bahagia, haru, dan sejenisnya, tiba-tiba menjadi “tamu istimewa” yang sukses “mengobrak-abrik” hati saya. Mendadak saya seperti tidak menjejak tanah, sekonyong melayang ke angkasa sesaat setelah saya mengetahui artikel saya dimuat, hehe. Seminggu kemudian, saya mendapatkan wesel pos (dulu belum lazim transfer bank), honor tulisan saya tersebut yang jumlahnya cukup fantastis, karena melebihi nominal jatah makan saya selama sebulan di pesantren.

Ya, artikel pertama saya dan dimuat itu honornya adalah Rp 35 ribu. Tahun 1994, nominal segitu sangat banyak menurut saya. Karena seperti yang saya katakan, nominal honor itu melebihi jatah makan saya selama sebulan di pesantren. Ketika itu, sekali makan di kantin pesantren, cukup Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Dengan hominal segitu sudah meliputi sepiring nasi plus sayur, dua potong lauk tempe atau mendoan atau bakwan, dan segelas es teh atau es sirup.

Jadi, sehari jatah uang untuk makan Rp 750,- plus tambahan Rp 250 ribu sebagai uang jajan dan uang tak terduga. Jadi total jenderal jatah makan saya sebulan di pesantren Rp 30.000,-. Bila sebuah artikel dihargai Rp 35 ribu, berarti satu artikel yang dimuat majalah, sudah lebih dari mencukupi untuk biaya makan sebulan di pesantren. Subhanallah!

Realitas mencengangkan itulah yang kemudian menjadi tambahan daya lesat saya untuk semangat menulis berikutnya, meski visi finansial bukan merupakan prioritas dalam rangkaian misi saya menulis. Tujuan utama saya menulis di awal-awal adalah sebagai sebuah wahana ekspresi dan kebanggaan atau eksistensi diri. Sedang aspek ekonomi hanya menjadi tambahan daya ungkit yang lebih memotivasi produktivitas berkarya. Artinya, dimuat aja sesungguhnya sudah senang sekali, apalagi dikasih duit. Siapa yang nolak coba?!

Sejak saat itu, saya memang produktif menulis. Dimuatnya artikel pertama saya itu benar-benar menjadi tonggak debut saya di panggung dunia kepenulisan, yang menurut saya, sangat prospektif, menjanjikan, dan prestisius. Alhamdulillah.      

Terus Mengasah Ketajaman Pena

Segera setelah artikel pertama saya dimuat di majalah Rindang, saya mulai mencari-cari media yang saya bisa menulis di situ. Setela cari-cari, ketemulah dua media yang sepertinya saya bisa ikut menulis secara lepas di situ, yakni yang pertama di koran Suara Merdeka, koran lokal ternama yang terbit harian di Jawa Tengah, dan yang kedua tabloid Jum’at, sebuah tabloid mingguan yang diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal Jakarta.

Di kedua media itu saya banyak belajar menulis artikel dan benar-benar saya manfaatkan sebagai sarana mempertajam pena saya, dalam arti mengoptimalkan kemampuan saya dalam menulis.
Di Suara Merdeka saya mengandalkan untuk yang edisi hari Minggu saja, karena di edisi itu banyak rubrik-rubrik menarik yang saya bisa berkesempatan untuk menulis secara lepas. Di antaranya ada rubrik Yunior, yang saya bisa menulis cerita anak (cernak); dan rubrik Remaja, yang saya bisa menulis esai lepas di situ.

Selain menulis esai lepas, di rubrik Remaja saya juga sering mengirim untuk kolom Dialog. Dialog adalah ruang yang disediakan untuk membincang tema-tema santai yang sudah ditentukan oleh redaksi dalam sebuah bentuk artikel pendek, hanya beberapa paragraf saja. Meski di rubrik Dialog ini tulisan yang dimuat tidak mendapat honor, melainkan mendapat hadiah kaos, tapi saya tetap antusias mengirim tulisan di situ. Tujuan prioritas saya adalah untuk mempertajam kemampuan saya menulis terhadap pelbagai tema. Selain itu tak bisa dipungkiri, saya juga bangga bila dimuat (ada nama dan foto saya terpajang di situ), di samping senang juga mendapatkan hadiah kaos. Saya bisa petentang-petenteng memakai kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA.  

Beberapa kali tulisan saya dimuat di rubrik Dialog, sehingga saya pun punya banyak koleksi kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA. Saya bangga memakainya, karena saya peroleh dengan ‘kerja cerdas’ mengirim tulisan dan bersaing dengan banyak tulisan lainnya namun tulisan saya dapat memenangkan kompetisi itu.   

Karena itulah, ketika itu saya rutin membeli koran Suara Merdeka edisi Minggu. Suara Merdeka edisi Minggu serupa ‘pacar’ yang selalu saya tunggu-tunggu kehadirannya. Setiap Minggu pagi, saya selalu merindukan kehadirannya. Dan pasti saya membelinya dan mengecek adakah tulisan saya yang dimuat di Minggu itu.

Pada perkembangannya, Suara Merdeka ketika itu juga menyediakan rubrik Debat Generasi Muda. Terbit setiap hari Rabu. Rubrik ini lebih serius dari rubrik Dialog yang redaksi menentukan tema-tema ringan dan santai. Di rubrik Debat Generasi Muda, redaksi menentukan tema-tema yang lebih serius dan yang sedang menjadi trending topic (kalau istilah sekarang sedang viral), misalnya tentang politik, penegakan hukum, isu lingkungan hidup, dan sebagainya.

Tulisannya juga tidak hanya pendek beberapa paragraf saja, tapi lebih panjang selayaknya artikel opini pada umumnya. Dan ini yang penting, kalau artikel opininya dimuat, tidak mendapatkan hadiah kaos seperti pada rubrik Dialog, melainkan mendapat honorarium yang nominalnya lumayan, karena bisa untuk membeli buku atau mentraktir bakso beberapa orang teman.
Suara Merdeka, edisi tak terlacak, sekitar bulan Juni 1996
Saya masih ingat, salah satu artikel opini saya yang dimuat di rubrik Debat Generasi Muda berjudul Mengembalikan Kepercayaan Rakyat. Tema ini diangkat redaksi karena saat itu tengah ramai peristiwa lepasnya buron kelas kakap Edi Tansil. Senengnya bukan main ketika itu. Apalagi setelah tahu informasi dari redakturnya, yang menginformasikan bahwa rata-rata dalam seminggu, ada 30-an naskah yang masuk ke redaksi, dan dari ke-30-an naskah itu hanya 2 hingga 3 artikel saja yang diambil untuk dimuat. Itu artinya, ada 30 artikel yang terbuang dan masuk tong sampah setiap minggunya. Jadi, bisa dibayangkan ketatnya kompetisi agar tulisan kita bisa dimuat. Dari sinilah saya belajar strategi menulis di koran agar dimuat, setidaknya berpeluang lebih tinggi untuk dimuat.

Mengasah Kemampuan Jurnalistik

Selain di Suara Merdeka, media tempat saya mengasah kemampuan menulis adalah di tabloid Jumat. Seperti yang sudah saya sampaikan, tabloid Jumat adalah sebuah media yang terbit mingguan, diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal Jakarta.

Di tabloid inilah saya juga benar-benar banyak belajar dan berlatih menulis di awal-awal karier kepenulisan saya. Tapi, di tabloid ini saya lebih banyak belajar jurnalistik layaknya seorang wartawan atau jurnalis. Karena di tabloid Jumat, saya menulis jenis-jenis tulisan jurnalistik seperti berita dan feature (karangan khas) seperti profil tokoh, profil organisasi remaja, dan sebagainya.

Dari sini saya mendapatkan pengalaman secara otodidak tentang bagaimana meliput sebuah berita, melakukan proses-proses kerja jurnalisme seperti pengumpulan data lewat observasi, wawancara, dan riset. Lalu merekonstruksinya dalam sebuah tulisan jurnalistik.

Karena ‘tuntutan kerja’ itulah saya musti membeli kamera. Ketika itu saya membeli kamera merk Fuji MDL5 dengan harga kalau tidak salah ingat Rp 45 ribu, yang saya sudah sangat senang memilikinya. Saya bawa kemana-mana. Tapi saya menggunakannya hanya untuk hal-hal penting saja karena waktu itu masih menggunakan rol film yang untuk mencetak fotonya perlu dicuci terlebih dulu di studio foto yang menyediakan layanan cuci film, baru kemudian diafdruk atau dicetak.

Meski saya bukan jurnalis resmi tabloid Jumat, tapi redaksi sangat welcome menerima sumbangan tulisan dari luar. Atmosfir jurnalistik sangat saya rasakan, sehingga saya seperti menjadi jurnalis atau wartawan beneran. Bila ada sumber berita yang pas, saya segera menghubungi dan segera membuat appoinment untuk interview. Keren lah. Bila ditanya dari media mana, saya menjawab, saya jurnalis lepas.

Pernah saat saya tinggal di sebuah kontrakan di Perumahan Pucang Gading (Semarang). Ternyata ada seorang tetangga kontrakan saya yang seorang muallaf. Di tabloid Jumat memang ada rubrik Mengapa Aku Pilih Islam, yang berisi perjalanan mendapat hidayah dari para mualaf sehingga memeluk agama Islam. Saya pun mendatanginya dan mewawancarainya. Beberapa waktu kemudian, dimuatlah tulisan saya hasil wawancara tersebut. Ketika itu bapak-bapak kompleks sedang berkumpul di pos ronda. Saya menunjukkan tabloid Jumat yang memuat profil tetangga saya itu. Maka hebohlah para bapak-bapak itu dan mereka menjadi lebih hormat kepada saya setelah tahu saya seorang penulis dan jurnalis hehe....

Kepopuleran saya sebagai seorang penulis mulai berkibar, terutama dalam lingkup pertemanan. Bahkan karena saya juga dikenal memiliki kemampuan retorika, seorang pembaca buku, dan sering menjadi tempat curhat problematika remaja (hahaha...), saya pun mulai diundang di berbagai even seminar, di antaranya oleh sebuah organisasi karang taruna di Semarang untuk mengisi sebuah seminar remaja dengan tajuk “Cinta dalam Visi Islam”  pada Juni 1998.

Sejak itulah saya menjadi penulis, dan juga pembicara publik, hingga kini. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.*

*) Badiatul Muchlisin Asti adalah Ketua Umum Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG). Ratusan tulisannya dalam bentuk esai, opini, feature, resensi buku, dan lainnya dimuat di berbagai koran dan majalah antara lain Suara Merdeka, Solopos, Tribun Jateng, Tribun Jogja, Koran Muria, Radar Sampit, Kedaulatan Rakyat, Riau Pos, Lampung Post, Ummi, Suara Hidayatullah, dan lain sebagainya. Telah menulis 60+ buku multi tema dan diterbitkan di berbagai penerbit di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Solo. Kini, juga mengelola lembaga penerbitan sendiri, CV. Hanum Publisher. Kunjungi blog pribadinya: www.kangasti.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran dan Majalah"

Posting Komentar