Dari Artikel ke Buku


Oleh Tulus Kurniawati*)

Profil Tulus Kurniawati di sebuah koran lokal
Antara ingin tapi tak mau. Alias tak punya strong why (alasan kuat) untuk menulis buku. Itulah saya. Bayangan saya, menulis buku itu seperti lari maraton. Butuh nafas panjang. Butuh bergelut dengan tema yang sama sekian lama. Belum lagi harus mencari referensi. Karena apa yang bakal kita tulis, haruslah bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.

Mungkin karena saya telah terbiasa menulis artikel-artikel lepas. Bahkan pada awalnya malah penulis fiksi. Apalagi ( sssttt, saya ceritain ya, ini strong why mengapa saya lebih suka suka menulis artikel lepas) jika tulisan itu sudah mulai antri di redaksi, dan bisa diperkirakan kapan dimuat. Wuihhh, rasanya gurih-gurih kriuk gitu, membayangkan transferan atau wesel segera terkirim.

 

Dari Fiksi ke Nonfiksi

Oke. Saya ceritakan sedikit prosesnya, kenapa yang tadinya saya menulis fiksi lalu beralih menjadi artikel. 

Simpel saja. Ini terkait dengan asupan gizi otak saya. Hahaha...ini tidak soal gemar makan ikan atau tahu tempe ya, gaess.

Ini erat hubungannya dengan santapan bacaan  saya waktu itu. Era sekolah, SMP dan SMA, hampir semua bacaan saya adalah fiksi. Novel-novel Enyd Blyton, majalah Bobo, Kawanku, Anita, Aneka Yess, hingga majalah pelajar kondang jaman dulu. Yes, MOP namanya.

Melihat nama-nama yang tulisannya sering dimuat, lama-lama saya panas juga. Masak aku nggak bisa. Sesimpel itu. Maka, dengan semakin banyaknya asupan bacaan saya, semakin banyak pula produksi ide tulisan dalam benak saya. 

Ditambah lagi dengan munculnya media cetak Islam seperti Annisa dan Ummi. Munculnya penulis-penulis fiksi Islam yang ciamik banget, membuat saya makin penasaran. Masak aku nggak bisa.
Dari situlah kemudian, muncul banyak ide secara spontan. Tulis-tulislah di diary. Biasalah, namanya juga remaja putri kan

Saya paksa untuk tulis, apapun itu, dan seberapa pun jumlahnya. Separagraf...macet. Besok lagi, dua paragraf...macet. Terus begitu. Hingga kemudian bisa full satu judul cerpen. Tapi kualitasnya halah hembuhhhh...hahaha.

 

Akhirnya Dimuat Juga

Proses yang cukup panjang dan lama. Betul-betul butuh kesabaran. Beruntung saya diberikan Allah sifat rodo ndableg. Artinya, kirim ke redaksi kok ditolak? Besoknya saya kirim lagi. Terus begitu. Intinya, moga-moga suatu saat redaksi majalahnya melas sama saya. Hihihi...

MOP adalah media pertama yang memuat puisi saya. Mungkin ini efek bombardir naskah saya di meja redaksi. Dan luar biasaaa, dapat honor 10 ribu perak waktu itu, senengnya pol-polan. Apalagi dipasang di papan pengumuman sekolah. Wessss... pokoke koyok artis gitu lah. Ditambah lagi, tiba-tiba saya banyak terima surat dari fans. Haiyahhhh, banyak yang mau kenalan. Persis kayak artis baru beken.

Lepas tembus majalah MOP, rasanya saya makin penasaran. Berarti aku bisa nih. Dan begitulah. Where there is a will, there is a way. Mungkin begitu kata bijaknya. Di majalah Annida, ada kolom khusus, Bengkel Menulis, yang digawangi para penulis terkenal. Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong, dan entah siapa saya lupa. Dari situ saya mendapat banyak teori menulis.
Selebihnya, semua teori iku kudu dipraktikkan. Tulis terus. Terus dan terus.

Kemudian, saya menjadi sering banyak membaca. Memantau media-media yang siap menerima kiriman naskah dari penulis. Nggak peduli majalah, koran, atau tabloid. Suara Merdeka, Wawasan, Nova, Solo Pos, dan beberapa majalah nasional, hampir semuanya pernah saya kirimi naskah.
Nah lalu, bagaimana kok akhirnya bisa punya banyak ide untuk menulis ? Sekali lagi, simpel saja. Itu terkait dengan asupan bacaan kita. 

Bagi para penulis, asupan gizinya ya membaca. Membaca banyak buku, dari berbagai macam genre. Fiksi atau nonfiksi. Detektif maupun roman. Semuanya bisa menjadi bahan yang bisa diolah dalam tulisan kita.

Tahun 2003-an, Suara Merdeka punya tabloid remaja TREN dan Yunior. Wuahhhh...di tabloid ini saya habis-habisan muntah ide dan tulisan. Cerpen, puisi, artikel, saya kirim sebanyak-banyaknya. Sesering mungkin. Dan yesss...tulisan saya hampir dipastikan tiap bulan ada yang dimuat. Dan honornya...asyiklah buat anak kuliahan, yang kerjaannya nongkrong di perpustakaan. Nulis paling cuma butuh waktu 2 jam, maksimal 4 jam.
Rekor saya di TREN waktu itu adalah menulis cerita bersambung, yang dimuat mingguan, selama 4 bulan. Per muatnya dapat honor 50 ribu. Jadiii, kalau mau tahu apa yang membuat kita ketagihan menulis, honor adalah salah satunya. Hahaha...

Memang semuanya butuh proses. Apapun itu. Tak terkecuali menulis. Asupan bacaan semakin beraneka ragam ketika di bangku kuliah sambil menikah. Menikmati suka duka rumah tangga, yang membuat akhirnya saya, mau tidak mau harus banyak membaca. Dan akhirnya, ketemu majalah yang ada rubrik rumah tangganya.

Rejeki Nih, Batin Saya

Maka mulailah saya menulis artikel tentang kerumahtanggaan. Tentang wanita. Tentang pendidikan. Semuanya berawal dari keseharian saya. Itu ide simpel, murah, dan mudah. Tinggal bagaimana kita menyajikannya dalam bentuk tulisan yang enak dibaca.

Satu dua kali tak dimuat. Itu biasa. Hingga kemudian strategi lama saya gunakan. Bombardir meja redaksi. Hahaha...

Salah satu staf redaksi akhirnya ada yang menelpon hendak kenalan. Entah basa-basi atau sebetulnya mblenger dengan naskah saya. Intinya, support agar saya terus mengasah kemampuan menulis saya dapatkan.

Yang lucu, ada beberapa teman dari luar daerah, sesama pembaca majalah tersebut, tiba-tiba ingin kenalan. Mereka kira saya ini adalah ibu-ibu sudah tua, banyak wejangannya. Ternyata oh ternyata. Tapi dari respon ini saya sadar bahwa dengan tulisan, kita bisa memberikan kontribusi dan pengaruh luar biasa pada orang lain.

Dan yihuiiii, akhirnya, dimuat pula. Di sebuah majalah bulanan nasional. Honornya Masya Allah... pokoknya bikin ketagihanlah.

Oke, kembali ke soal menulis buku. 

Saya hampir-hampir tidak bisa membayangkan menulis sekian banyak karakter. Sekian ratus lembar. Sekian puluh bab. Hadehhhh, betul-betul kayak lari maraton. Sementara saya lebih suka lari sprint 100 meter.

Tapi tidak. Rupanya itu bukan alasan. Jika saya bilang, saya tidak punya strong why untuk menulis buku, justru di balik itu, ada banyak hal yang ingin saya ceritakan, dan itu bisa menjadi buku.
Tapi, kembali tapiii...sekali lagi, menulis buku itu butuh daya tahan. Juga butuh daya juang. Disiplin meluangkan waktu setiap hari, di antara banyak ide yang juga ingin dituangkan. Itu rasanya...wow banget...

Setidaknya ada satu alasan kuat mengapa saya harus segera menulis buku. Buku adalah hal paling murah dan mudah yang bisa saya wariskan kepada anak cucu saya. Pengalaman, perjalanan hidup, semua kisah pahit manis, ini layak untuk saya bagikan kepada mereka semua. Untuk itulah, buku harus saya tulis.

Buku PAUD-preneur, Menjadi Guru PAUD yang Berdaya dan Memberdayakan, adalah kisah-kisah keseharian saya sebagai guru PAUD sekian lama. Mengambil maknanya, mengolah rasanya, hingga menjadikannya sebagai sebuah kisah unik yang mengandung pelajaran. Itu ide simpel saya.
Sekali lagi, simpel saja. Ada banyak ide di sekitar kita yang bisa diolah. Referensi pun hari ini mudah didapat. Banyak bacaan bertebaran di mana-mana. Problemnya hanya satu, kita mau menulis atau tidak, itu saja.

Hari ini, saya masih menulis. Dan satu-satunya kegiatan yang tidak ada jenuhnya adalah menulis. Paling-paling, jika mata mulai pedes, refreshing dengan membaca buku-buku ringan, insya Allah sudah bisa membangkitkan mood menulis kembali.

Bagaimana agar tulisan kita bagus ? Aduhhh...saya nggak punya resepnya. Ibarat orang bikin roti, pertama kali bantat. Kedua kali gosong. Ketiga kali lupa nggak dikasih telur. Keempat kali gasnya habis ketika lagi nge-oven. Hahaha...ya begitulah. Insya Allah, lama-lama akan bagus sendiri. Kuncinya hanya satu: OJO KALAH KARO WEGAH.*

*) Tulus Kurniawati adalah Ketua Bidang Nonfiksi dan Karya Ilmiah Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG). Sehari-hari mengelola Rahmania Islamic School Purwodadi. Menekuni dunia tulis-menulis sudah sekian lama, tulisannya dimuat di berbagai koran dan majalah. Bukunya yang sudah terbit berjudul PAUD-preneur, Menjadi Guru PAUD yang Berdaya dan Memberdayakan (Hanum Publisher, 2018).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dari Artikel ke Buku"

Posting Komentar