Menulis Puisi, Menulis Kehidupan


Oleh Sri Penny AH*)

Sri Penny saat menyerahkan buku karyanya kepada Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Dr. Tirto Suwondo pada acara launching buku karyanya belum lama ini
Saat kecil, tak pernah terlintas di benakku untuk menjadi seorang penulis. Saat kecil, aku bercita-cita menjadi seorang perawat seperti nenek dan ibuku. Sering membantu seseorang. Berkecimpung di dunia kemanusiaan.

Seiring berjalannya waktu, aku semakin besar, sejak sekolah sore di Madrasah Diniyah (Madin), aku sudah dikenalkan puisi oleh kakakku. Setiap acara Madin, aku selalu baca puisi. Setiap aku membaca puisi, semua kubuat menangis. Bagiku pada saat itu, menangis adalah senjata utama untuk menyampaikan pesan agar sampai maknanya. Sampai pada suatu hari, setiap ada acara apapun, sering aku yang baca puisi. Puisi menjadi energi tersendiri sebagai pribadi yang doyan diksi.

Puisi menjadi hal yang terindah, wakil rasa, wakil katà, wakil ucap, wakil temu, wakil rindu.  Puisi adalah karya sastra yang paling aku gandrungi sejak kanak sampai beranak. Dari panggung ke panggung, dari lapangan ke lapangan, ya baca puisi, lomba puisi. Sehingga banyak orang mengenalku sebagai pembaca puisi.

Menjadi Penulis Puisi Diary

Waktu terus berlari. Hobiku menulis puisi diary, hingga diary-ku penuh tulisan berisi puisi. Di sekolah menengah pertama, berapa kali mengikuti lomba baca puisi, juga semakin cinta dan sedikit bisa mengartikan puisi.

Waktu terus berlalu, ketika masuk sekolah menengah pertama, mulai terlihat jelas hobiku membaca puisi dan membuat puisi. Lomba beberapa kali dan selalu pulang menggendong hadiah. Dari beberapa pengalaman ini, aku mulai belajar bagaimana untuk melanjutkan hobi puisi ini. Sampailah aku di kelas 3,  kuambil jurusan bahasa agar bakatku terkaver. Dan sampai lulus pun aku belum punya apa-apa.

Setahun kemudian, aku diterima di tiga universitas, yaitu UNS, UIN (dulu IAIN) Walisongo Semarang, dan UGM. Dari sinilah, komitmen pada cita-citaku diuji. Aku ingin menjadi ahli bahasa, ahli sastra. Dan akhirnya, aku masuk UGM jurusan Sastra Indonesia.

Dari UGM inilah nyaliku mulai ditantang. Tidak sekedar berpuisi, tapi juga cerpen, drama, dan karya sastra lainnya. Namun kecintaanku terhadap puisi tak lekang oleh beragamnya karya sastra. Terus aku menulis dalam harian biru karya-karyaku. Aku ikuti seminar, workshop, ajang tulis-menulis, kemudian aku ikut aktif kegiatan tulis-menulis. Pada saat itu aku diajak teman Sastra Indonesia untuk bergabung di FLP (Forum Lingkar Pena).

Beberapa kali ikut kegiatan, namun aku urungkan. Hal ini mengingat padatnya kuliah dan setumpuk tugas. Yang tak bisa aku tinggal dan selalu aku lakukan adalah menulis puisi. Kala itu, belum banyak media seperti sekarang ini.

Berjumpa Penyair-penyair Hebat

Beberapa bulan aku kuliah di Jogja, dipertemukan dengan sosok-sosok luar biasa, seperti Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Wachid, Acep, Fatin Hamama, dan lain lain, masih banyak lagi sastrawan hebat itu. Dari perkenalanku dengan mereka, muncullah ide menulis. Bahkan Mas Wachid yang penyair itu, mengajakku bergabung untuk menulis puisi. Akhirnya, dengan semangat berapi, aku menulis tiada henti karya puisiku. Namun, lagi-lagi hanya menulis dalam diary dan hanya sampai batas angan asa yang tak berkesudahan.

Suntikan-suntikan dari kawan terkadang hanya merasuk sesaaat. Kemudian hilang entah ke mana. Akhirnya, mencari ke mana-mana seperti Ayu Ting Ting yang mencari alamat palsu. Menurutku, pada saat kuliah itu, sebuah pencarian jati diri. Karena aku masih bingung, antara bakat panggung sama bakat menulis. Dan menurutku, lebih mudah akting di panggung daripada menulis.

Sampai beberapa tahun aku di Jogja, aku hanya bagai buku yang hanya diam tanpa pernah berguna jika tidak dibuka oleh pembaca. Selesai kuliah pun, puisi hanya sebuah halusinasi yang tak pernah ada.

Ingin sekali menjadi seorang penulis pada saat itu, paling tidak hasil puisiku yang kutulis. Suntikan dari Fatin Hamama, Emha Ainun Nadjib, Fazil Abdullah,  dan lainnya, hanya energi sesaat yang meluap.

Tetap Setia Berpuisi

Beberapa saat vakum dari tulis-menulis, selulus kuliah, akhirnya aku menjadi seorang guru, yang sebenarnya bukan pilihanku. Nah, dari sinilah, aku mulai menata hati untuk tetap berpacu dalam puisi genre sastra yang menjadi favoritku. Kukembangkan lewat murid, aku pribadi, ikut ajang sana, ajang sini. Dan alhamdulillah, bakatku sering disambut banyak orang. Mulai dari acara, diminta mengisi acara, sampai diminta membuatkan puisi untuk dibaca pada suatu acara.

Menjadi kebahagiaan tersendiri ketika bisa bermanfaat untuk orang lain. Beberapa tahun jadi guru, ternyata nikmat, dan akhirnya aku mencoba untuk meneruskan belajar agar tambah pengetahuan.
Dari sinilah aku bertemu kawan-kawan sebaya, bahkan di atasku. Memberi suntikan energi agar aku bisa membukukan puisi. Termasuk Dekan FBS Unnes dan guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes. Mereka menganjurkan, puisi-puisi yang aku tulis di media sosial itu dibukukan. Secara pribadi, ini menjadi tantangan berat. Namun aku tetap berusaha untuk menulis buku.

Aku juga mencoba menulis puisi dan kukirim ke koran Suara Merdeka. Alhamdulillah, tembus. Dimuat di Suara merdeka, edisi Minggu, 17 Mei 2018.  Saat itulah, awal dari semangat yang sempat hilang. Bangga bukan main ketika tulisanku berisi kiritik sosial itu masuk media massa. Otomatis dibaca ribuan orang. Ada kebanggaan yang tak terlukis ketika namaku mulai dikenal di jagad perpuisian. Dua kali masuk Suara Merdeka, menjadi bom yang dahsyat yang bisa membangunkan kemalasanku untuk terus menulis puisi.

Beberapa kali ikut kegiatan diklat menulis, workshop menulis, menjadi ajang untuk mengasah kemampuan tulis-menulisku. Perjalanan panjang itu kusebut, karena memang menulis itu memang harus ‘dipaksa’. Menjadi credit point tersendiri ketika kita bisa menuangkan ide dalam sebuah tulisan.

Akhirnya, Terbit Juga Buku Perdanaku

Beberapa kali tulisanku di muat koran Suara Merdeka (2016 dan 2018), dimuat di buku antologi puisi Balai Bahasa 2018, antologi puisi Bawaslu 2018, dan antologi geguritan 2019, serta pada Minggu, 21 April  2019 lalu, akhirnya pecah pengembaraanku menjadi penulis karena aku berhasil menghasilkan buku solo. Peluncuran buku perdanaku berjudul Perjalanan Diksi (Sehimpun Pusi 2013-2018)  tepat di Hari Kartini menjadi tonggak sejarah ketika buku ini benar-benar menjadi sebuah tulisan yang tertuang dalam sebuah buku. Kebahagiaan yang tak tergadaikan oleh apapun.

Namun jika diingat perjuangan untuk tetap bisa menulis itu adalah hal yang mudah tapi sulit dilakukan. Kesibukan jadi guru, jadi ibu, jadi seniman, jadi anggota masyarakat, menuntutku untuk selalu tampil beda. Tampil beda, namun tetap bermanfaat untuk orang lain.

Setelah lahir buku perdanaku yang kutulis sendiri ini, semakin membuat aku semangat untuk tetap menghidupkan literasi di bidang tulis-menulis puisi, bergabung menjadi bagian dari komunitas Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG).

Sekedar Tips Dariku

Ada tips khusus versi aku agar imajinasi berkembang dengan baik:
  • Setiap saat adalah puisi
  • Bekerja adalah puisi
  • Lelah adalah puisi
  • Duka adalah puisi
  • Bahagia adalah puisi
  • Kegagalan adalah puisi
  • Kesuksesan adalah puisi
  • Cinta adalah puisi
Nah , beberapa hal di atas bisa menjadi sumber ide untuk menayangkan ide melalui puisi. Atau bisa juga dengan hal berikut:
  • Yang kita lihat
  • Yang kita dengar
  • Yang kita bicarakan
  • Yang kita rasakan
  • Yang kita raba
Hal-hal tersebut juga menjadi sarana untuk memancing ide dan gagasan melalui puisi.

Namun, itu hanya tips sederhana. Untuk melakukan hal tersebut, mustinya memang harus sederhana.  Semangat itu dari kita. Yakin bahwa menulis itu seperti makan. Setiap saat lapar, ya makan. Dengan begitu, menulis itu menjadi primer, bukan sekunder.

Tetaplah menjadi manusia ada diadakaan. Dan tetap menjadi manusia yang dikenal karena ide dan gagasannya. Jangan lupa ngejog (memasok) semangat untuk tetap berkhitmad di dunia literasi kita. Agar semua orang melek baca, melek tulis, dan melek segalanya. Semakin banyak orang cerdas, semakin terang kita melihat dunia ini.

Bagiku, MENULIS PUISI sama halnya MENULIS HIDUP. Jangan takut menjadi penulis, tetapi takutlah jika tidak pernah bisa menulis.*

Sri Penny AH

*) Sri Penny AH adalah Ketua Bidang Sastra dan Fiksi Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG). Sehari-hari menjadi guru di MAN 1 Grobogan. Dikenal sebagai penulis puisi dan telah membacakan puisinya di berbagai even, baik lokal, provinsi, maupun nasional. Buku antologi puisinya yang telah terbit berjudul Perjalanan Diksi, Sehimpun Puisi 2013-2018 (Hanum Publisher, 2019).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menulis Puisi, Menulis Kehidupan"

Posting Komentar