Dengan Menulis, Saya Belajar
Oleh: Teguh Santoso, M.Hum*)
Cerita Rakyat Grobogan karya Teguh Santoso yang memperoleh penghargaan dari Kementerian Pariwisata |
Menulis
sebenarnya bukan pekerjaan yang mudah. Mengapa? Karena membutuhkan perhatian
khusus dan menyita waktu. Maksudnya, menyempatkan waktu yang tepat jika kita
sedang sibuk dengan kegiatan di kantor, sibuk mengajar, atau sibuk dengan
rutinitas kegiatan lainnya.
Berbicara
tentang sibuk, hampir semua orang bisa dikatakan mempunyai kesibukan
masing-masing. Memang sulit jika kita tidak meluangkan waktu untuk menulis.
Karena dengan menulis kita akan belajar dan terus belajar. Mengapa? Karena
dengan menulis kita dituntut untuk membaca. Jika tidak membaca, dari mana
sumber rujukan, sumber inspirasi yang akan dijadikan bahan tulisan kita, nanti?
Apakah
menulis itu harus ada bakat khusus? Tergantung situasi. Misalnya, jika ingin
menulis buku referensi tentang bahasa, tentunya kita sudah mempunyai bekal penguasaan
bahasa yang sedang kita pelajari atau bakat pendukung dengan bahasa apa yang
akan kita tulis, terutama bahasa asing, seperti: Bahasa
Jepang, Inggris, Arab, Mandarin, dan
sebagainya.
Mengenai
bakat menulis, saya sebenarnya tidak mempunyai bakat yang khusus. Malahan saya
tidak ingin menjadi seorang penulis. Karena menjadi penulis tidak bisa kaya dan
bukan cita-cita saya. Belajar menjadi seorang penulis berawal ketika saya masih
duduk di bangku perkuliahan Pascasarjana di Bandung, saat masih kuliah di
program studi S2 Linguistik Jepang pada tahun 2014. Waktu kuliah, saya merasa
biasa-biasa saja seperti orang-orang yang kuliah pada umumnya. Waktunya
berangkat ya berangkat, waktunya ada tugas dari dosen ya dikerjakan. Hanya saja, saat kuliah di S2, tugas perkuliahannya tidak seperti saat kuliah
di S1. Waktu itu, kuliah S2 saya tugasnya seringkali diarahkan ke penelitian
ilmiah, seperti prosiding dan jurnal.
Ketika
itu, pada awal bulan 2015, saat melihat
papan pengumuman di kampus, ada sebuah brosur yang ditempel di papan pengumuman
(mading) yang bertuliskan: ‘‘Apakah tulisan Anda ingin dijadikan sebuah buku?’’
Begitulah judul utama yang diumumkan oleh salah satu penerbit dari Yogyakarta
yang masih terngiang di benak saya sampai saat ini.
Setelah
membaca tulisan di pengumuman tersebut, saya mencoba berpikir dan berpikir,
kira-kira apa bisa tulisan saya menjadi sebuah buku? Setelah sekitar hampir
satu bulan lamanya saya mencoba menata ulang tugas-tugas kuliah saya. Saya tambahin
isinya, kira-kira sudah layak atau belum, sudah pas, sudah pantes atau belum, sambil mondar-mandir ke perpustakaan
yang tidak jauh dari ruang perkuliahan. Akhirnya, setelah saya rapikan isinya
sesuai dengan format buku yang sudah ada di perpustakaan, saya mencoba
mengirimkan naskah yang sudah saya buat ke email penerbit tersebut.
Setelah
menunggu hampir 2 bulan lamanya, akhirnya email saya dibalas oleh penerbit
tersebut. Melihat balasan dari penerbit, kalau tulisan saya diterima serasa
saya tidak mempercayainya. Perasaan saya masih campur-aduk, rasanya antara cemas dan bahagia. Di balasan email tersebut jika berkenan dengan
persyaratan yang diminta oleh penerbit surat kerja sama (MOU= Memorandum of
Understanding) dua buah dalam bentuk buku dari penerbitnya akan dikirimkan
dan saya diwajibkan untuk tanda tangan dan mengirimkan salah satunya ke
penerbit. Dan satu buku perjanjian kerjasama untuk pegangan saya pribadi.
Setelah
dua bulan, kemudian buku saya diterbitkan. Buku pertama terbit dengan judul Kajian Linguistik Kontrastif: Tingkatan
Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-Usuk
Bahasa Jawa.’’ Kemudian, disusul buku kedua dengan judul Dasar-Dasar Morfologi Bahasa Jepang Edisi 2 dengan penerbit yang
sama. Selanjutnya, novel biografi dengan judul Seribu Kilometer dengan penerbit yang berbeda. Kedua buku tersebut,
diterbitkan pada tahun 2015. Walaupun masing-masing judul buku tersebut royalti pertamanya diberikan dalam bentuk buku 100
eksemplar, yang penting sudah bisa diterbitkan,
saya sudah bersyukur. Jika diuangkan royalti awal
tersebut berkisar 15-18 juta. Namun, hanya bisa diambil dalam bentuk buku. Ah,
yang penting bisa dikenal saja dahulu.
Pada
tahun 2016, saya mengajak kolaborasi dengan satu teman sekelas saat kuliah S1
dulu untuk ikut menulis bersama, akhirnya,
terbitlah buku lagi dengan judul Bahasa
Jepang: Ragam Bahasa Pria dan Wanita
dengan penerbit yang sama dengan buku pertama dan kedua.
Selanjutnya terbit buku lagi dengan
judul Cerita Rakyat Grobogan dengan
nama penerbit yang berbeda, namun masih satu perusahaan dengan penerbit buku
pertama dan kedua.
Pada
tahun 2017, saya dan teman-teman penulis berkolaborasi menerjemahkan salah satu
cerita rakyat dari Grobogan yang terkenal, yaitu Kiai Ageng Selo Sang Penakluk Petir menjadi 6 bahasa (Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, Bahasa Jepang, Bahasa Mandarin dan
Bahasa Arab). Dalam buku tersebut,
penerbitnya juga berbeda.
Selanjutnya, pada tahun 2018 kembali buku saya diterbitkan dengan penerbit
yang berbeda juga, dengan judul Kajian
Linguistik Kontrastif: Kalimat Permohonan Direktif Bahasa Jepang dan Bahasa
Jawa. Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama.
Selain ber-ISBN, buku ini juga sudah di-HAKI-kan dengan nomor pencatatan:
000127142. Kebanyakan buku-buku karya saya diterbitkan di Yogyakarta. Hanya
satu novel saya yang diterbitkan oleh penerbit di Semarang.
Di
samping itu, ada beberapa prosiding dalam Seminar Internasional Bahasa Jepang
dan jurnal nasional yang juga sudah diterbitkan, ada yang berbahasa Inggris dan
ada yang berbahasa Jepang. Di antaranya: Konsep Waktu
Masyarakat Kejawen: Kajian Linguistik Antropologi (SETALI UPI 2015), prosiding diterbitkan oleh Balai Bahasa Universitas Pendidikan
Indonesia; Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-usuk
Bahasa Jawa (Kajian Linguistik Kontrastif) (2015)
Jurnal わ;
Tuturan
Permohonan Direktif Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa: Analisis Kontrastif (2016), diterbitkan oleh Fakultas
Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta; Japanese and Javanese
Directive Forms: A Study in Sociolinguistics
(2018), Jurnal Culturalistics, Universitas Diponegoro;
Kontrastivitas
Aspek-Kala Makna Verba Tsukeru dan Kakeru dengan Makna Verba Menggunakan dan
Memakai dalam Bahasa Indonesia (2018), Jurnal
Philosophica, Universitas Ngudi Waluyo; dan The Ghost Naming In Japan
and Indonesia an Anthropological Linguistic Study (2018), prosiding
diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Itulah
pengalaman saya selama menulis. Dan saya masih ingin menulis dan terus menulis,
selama saya masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini oleh Allah Swt. Karena dengan menulis,
saya bisa terus belajar dan belajar. Long
life learning. Untuk tahun 2019 ini, saya sedang menulis buku tentang
ke-Jepang-an lagi berkolaborasi dengan seorang teman yang mengajar bahasa
Jepang di salah satu PTS di Bandung. Namun, belum selesai. Semoga, nanti bisa
selesai dan diterbitkan lagi. Semoga apa yang saya tulis di buku-buku karya
saya dan teman-teman yang sudah diterbitkan bisa bermanfaat. Aamiin.*
*)Teguh Santoso adalah Wakil Ketua Forum Silaturahmi Penulis Grobogan
(FSPG). Sehari-hari menjadi dosen prodi Sastra Jepang Universitas Ngudi Waluyo (UNW)
Semarang. Tinggal di Purwodadi.
0 Response to "Dengan Menulis, Saya Belajar "
Posting Komentar